“KEMISKINAN STRUKTURAL DAN KULTURAL”
TEKNIK
INFORMATIKA
UNIVERSITAS
GUNADARMA
PTA
2017/2018
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa saya panjatkan kepada junjungan Nabi
besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan para umatnya yang
insyaallah setia sampai akhir jaman. Makalah ini disusun guna melengkapi tugas
Ilmu Sosial Dasar. Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan
dukungan dari berbagai pihak, Saya telah berusaha untuk dapat memberikan serta
mencapai hasil yang semaksimal mungkin dan sesuai dengan harapan, Walaupun di
dalam pembuatannya saya menghadapi berbagai kesulitan karena keterbatasan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang saya miliki.
Oleh sebab itu, pada kesempatan ini
saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada Ibu
Sri Hermawati selaku dosen Ilmu Sosial Dasar. Saya menyadari bahwa dalam penulisan dan pembuatan
penulisan ilmiah ini, masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun sangat saya butuhkan untuk dapat menyempurnakannya di
masa yang akan datang. Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi saya dan teman-teman maupun pihak lain yang berkepentingan.
Jakarta,
6 November 2017
Hormat Saya
Muhammad
Rizqy Al Faris
NPM:
54417235
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................
1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................ 4
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kemiskinan Struktural
dan Kemiskinan Kultural.................................................
5
2.2 Akar Permasalahan Kemiskinan
Struktural dan Kemiskinan Kultural....................................
6
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................
13
3.2 Saran.............................................................................................................................
13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah sepatutnya
kita sebagai anak bangsa berbangga atas prestasi yang telah ditorehkan negeri
tercinta ini. Dengan segala bentuk kerja keras, akhirnya Indonesia menempatkan
diri sebagai salah satu negara miskin didunia
Prestasi
itupun membuahkan hasil dengan adanya penghargaan berupa aliran dana segar dan
semakin memantapkan posisinya dalam daftar negara penghutang. Sungguh ironis,
namun itulah yang terjadi. Fenomena kemiskinan ini akan semakin tampak nyata
dan bentuk pengorbanannya berupa ratapan tangisan anak bangsa dan peluh para
buruh yang terkapar.
Pembangunan
di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek di
masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan tersebut
membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai
dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang
diciptakan oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya sangat mengerikan
dan kompleks, karena ternyata telah melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan
dalam masyarakat. Bentuk kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah
suatu bentuk yang masih semu. Apakah
karena secara struktural Indonesia ini miskin atau mungkin secara kultural Indonesia ini miskin.
Kemiskinan struktural
adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau
kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan
budaya.
Sedangkan
kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas,
mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari
kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya
dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh
masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh
sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat,
cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga,
tidak berdaya dan rendah diri akut.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian kemiskinan struktural?
2.
Apa pengertian kemiskinan kultural?
3.
Apa saja akar permasalahan kemiskinan struktural
dan kultural?
4.
Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi
penyebab kemiskinan?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian kemiskinan struktural
2.
Mengetahui pengertian kemiskinan kultural
3.
Mengetahui permasalahan kemiskinan struktural
dan kultural
4.
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
penyebab kemiskinan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kemiskinan Struktural dan
Kemiskinan Kultural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari
super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu
mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan,
tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan
pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan.
Kemiskinan, dalam realitasnya selalu dilihat dari
sudut ekonomi, dimana batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang
tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal
tertentu.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan
yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh
orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki
etos kerja dan sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah
masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap
apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal
ditemui ada rumah yang bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga,
masa kanak-kanak cenderung singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu
mereka ada perasaan tidak berharga, tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya kemiskinan adalah, bahwa
kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural
yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis,
pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks
keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di
doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan,
komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.
B. Akar Permasalahan Kemiskinan
Struktural dan Kemiskinan Kultural
Penggalian tentang kemiskinan yang selama ini
cenderung dilakukan pada batas angka-angka statistik makro yang kurang mendalam
serta tidak detail dalam mengungkap latar belakang masyarakat miskin. Akibatnya
tidak dapat melihat persoalan secara komperehensif mengenai dimensi-dimensi
kemiskinan, karena sesungguhnya persoalan kemiskinan terkait dan saling
mempengaruhi dengan persoalan yang lainnya. Pada sisi lain studi tentang
kemiskinan juga cenderung over akademis yang kurang memiliki daya guna
pemecahan persoalan yang sifatnya praksis penanggulangan kemiskinan, sekaligus
gagal mengungkap akar penyebab kemiskinan.
Beberapa
faktor yang dianggap sebagai penyebab kemiskinan majemuk meliputi tiga aspek
diantaranya, yaitu:
1. Kelembagaan:
Rakyat miskin tidak punya akses ke pembuat keputusan dan kebijakan, sedangkan
kelembagaan yang ada tidak pernah menjaring atau menyalurkan aspirasi yang
muncul dari bawah, dan setiap kebutuhan rakyat miskin sudah didefinisikan dari
atas oleh kelembagaan yang ada, sehingga kemiskinan tidak dapat terselesaikan.
2. Regulasi:
Kebijakan pemerintah yang mengutamakan kepentingan ekonomi. Kebijakan ekonomi
dalam investasi modal pada sektor-sektor industri yang tidak berbasis pada
potensi rakyat menutup kesempatan masyarakat untuk mengembangkan potensinya dan
menjadi akar proses pemiskinan.
3. Good governance:
Tidak adanya transparansi dan keterbukaan pada pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan yang mengakibatkan kebijakan hanya bisa diakses oleh orang-orang
tertentu. Segala bentuk regulasi diputuskan oleh lembaga-lembaga pembuat
kebijakan tanpa mengikutkan para pelaku yang terlibat dan tidak memahami
aspirasi rakyat miskin sehingga kebijakan yang muncul tidak mendukung rakyat
miskin.
Aspek
ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain,
seperti politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam
melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan, yaitu:
a. Aspek politik yang mengakibatkan
kemiskinan yaitu:
1.
Tidak ada budaya demokrasi yang mengakar.
2. Keputusan-keputusan politik yang sangat
dipengaruhi keputusan dan kepentingan politik dari luar negeri.
3. Tidak ada kontrol langsung dari rakyat
terhadap birokrasi.
4. Tidak berdayanya mekanisme dan sistem
perwakilan politik menghadapi kepentingan modal.
b. Aspek ekonomi yang mengakibatkan munculnya
kemiskinan yaitu:
1. Kebijakan
globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi.
2. Rendahnya
akses terhadap faktor produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.
3. Spekulasi
mata uang.
c. Aspek sosial budaya yang mengakibatkan
kemiskinan yaitu:
1. Hancurnya
identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2. Hancurnya
kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan social.
3. Marginalisasi
mayoritas rakyat.
4. Lemahnya
kelembagaan yang ada.
5. Kuatnya
budaya bisu di semua lapisan masyarakat.
Paradigma ekonomi yang
dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat pemilik modal menguasai segala-galanya.
Penguasaan ekonomi dengan dalih demi ‘keuntungan bersama’, menjadi penyebab
dasar kemiskinan dalam masyarakat dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang
semena-mena. Aspek sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya proses
pemiskinan. Tradisi yang ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam
pemenuhan kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut
menanggung kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak;
dan di sisi lain terjadi pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan
pada banyak kota di Indonesia. Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan
kemiskinan dalam bentuk yang lain.
Kepentingan politik tidak
bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi yang tidak
aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin
memiskinkan rakyat .
Berbicara tentang
kemiskinan struktural, artinya struktur yang membuat orang menjadi miskin,
dimana masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan tidak
mendapatkan akses secara baik. Disebut kemiskinan
kultural, adalah budaya yang membuat orang miskin, yang dalam antropologi
disebut Koentjaraningrat dengan mentalitas atau kebudayan kemiskinan sebagai
adanya budaya miskin. Seperti, masyarakat yang pasrah dengan keadaannya dan
menganggap bahwa mereka miskin karena turunan, atau karena dulu orang tuanya
atau nenek moyangnya juga miskin, sehingga usahanya untuk maju menjadi kurang.
Semakin banyak program-program yang bergerak dalam penanggulangan kemiskinan,
namun makin banyak pula jumlah orang miskin.
Kemiskinan dalam
perspektif ekonomi, didefiniskan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan. Sumber
daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, melainkan semua jenis
kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas. Kemiskinan ini
menggunakan indikator yang sifatnya materi seperti kepemilikan harta benda,
income perkapita, maupun konsumsi sebagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan
indikator konsumsi sebesar 21,00 kalori/ orang setiap hari yang disetarakan
dengan pendapatan tertentu, atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan standar
1 dolar AS/orang setiap hari. Contoh kemiskinan ini adalah tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan beserta akses lain, seperti
kesehatan, pekerjaan maupun pendidikan (Republika, 7 Maret 2010).
Kemiskinan dalam
perspektif kesejahteraan sosial
mengarah pada keterbatasan
individu atau kelompok dalam mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung
dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Faktor
penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal, dalam hal ini
bersumber dari si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya
hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar kemampuan
sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang
menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana kemiskinan dalam
persepektif ilmu kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada
awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, kemudian dikarenakan terlalu lama
dalam kondisi tersebut baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun
karena dipelihara menyebabkan efek domino yaitu tumbuhnya patologi atau
masalah-masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah menjadi
masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri
juga mengatasi masalah sosial yang timbul. Contohnya adalah: munculnya
kriminalitas, budaya malas, korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan
konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan
struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena
ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan
sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang
memungkinkan si miskin dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu
menguhubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang
disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka
yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh tani, pemulung, penggali pasir
dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang berperan besar
dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah
yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam
kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin,
jikapun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan
kesejahteraan. Sehingga tidak ada masyarakat miskin yang ‘naik kelas’, artinya
jika pada awalanya buruh, nelayan, pemulung maka selamanya menjadi buruh
nelayan dan pemulung, karena tidak ada upaya dalam menaikan derajat dan
kemampuan mereka baik itu dalam kesempatan pendidikan atau pelatihan.
Sedangkan kebudayaan
kemiskinan, merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai
atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah
menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Ciri dari
kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya
dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh
masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang bobrok, penuh
sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung singkat,
cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga,
tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang
budaya kemiskinan adalah, bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan efek domino
dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama,
sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang
terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah,
terlebih paham ini disebarkan dan di doktrinasikan dalam mimbar agama. Contoh
kemiskinan ini ada pada masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama,
dan kalangan marginal lainnya.
Di dunia ini, sudah
sunatullahnya terdapat hal-hal yang bertolak belakang. Siang dan malam,
kebaikan dan keburukan, keberhasilan dan kegagalan, juga kaya dan miskin.
Kemiskinan itu sendiri merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dinilai
sebagai suatu hal yang harus diberantas hingga hilang dari permukaan bumi.
Namun, permasalahan timbul akibat jurang yang lebar antara kaya dan miskin
sehingga lahirlah permasalahan sosial lainnya yang lebih kompleks seperti
kriminalitas, prostitusi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, masalah
kesehatan dan pendidikan dsb. Karena itu, untuk menangani permasalahan
tersebut, dibutuhkan analisis yang tajam serta penangangan secara komprehensif
dan berkesinambungan oleh seluruh pihak yang terkait dengan hal ini.
Berdasarkan hasil survei, jumlah penduduk miskin penduduk yang
berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia pada Bulan Maret 2009 sebesar
32,53 juta 14,15 persen (BPS, Maret 2009).
Di Indonesia, fenomena
kemiskinan muncul tidak hanya pada dimensi ekonomi atau material saja. Ia juga
menyentuh dimensi lain yaitu sosial budaya sehingga muncullah istilah cultural
poverty yang dikemukakan oleh Oscar Lewis dalam teorinya. Hal ini muncul
sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang
miskin seperti malas, mudah menyerah pada nasib, dan kurang memiliki etos
kerja. Karena penyebab kemiskinan ini muncul dari dalam diri manusia itu
sendiri, maka upaya menanggulanginya juga harus dari dalam diri manusia
tersebut. Dalam aset komunitas, terdapat beberapa modal dalam suatu masyarakat.
Salah satunya adalah modal spiritual.
Spiritualitas adalah jiwa
dari upaya pemberian bantuan. Ia adalah sumber dari empati dan perhatian,
denyut dari kasih sayang dan unsur utama dari kebijakan praktis, serta dorongan
utama pada kegiatan pelayanan. Pekerja sosial mengetahui bahwa peran, teori,
dan keterampilan profesional yang kita miliki menjadi tidak bermakna, kosong,
melelahkan, dan tidak hidup tanpa adanya spiritualitas.
Dorongan dalam diri
seseorang yang bersumber dari kekuatan transedental manusia dengan kekuatan
lain yang tak kasat mata serta lebih berkuasa darinya, di luar diri manusia,
yang membawa orientasi manusia tidak semata-mata mengarah ke tujuan duniawi,
tetapi lebih jauh lagi ke kehidupan yang lebih hakiki. Modal spiritual tersebut
memiliki peran dalam proses pembangunan sosial, pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat meliputi beberapa fungsi seperti, meningkatkan etos kerja dan
memberikan daya dorong atau semangat yang positif dalam melakukan pembangunan;
memberikan jiwa dalam upaya pemberian bantuan; memberikan arah dalam
pembangunan, dan menjadi pelndung terhadap penyimpangan.
Spiritualitas erat
kaitannya dengan pemahaman agama. Islam sebagai salah satu agama yang diakui di
Indonesia dan memiliki umat terbanyak atau mayoritas di negeri kita ini dapat
menjadi aset bermodal spiritual yang kuat manakala benar-benar memahami sumber
ajarannya yaitu Al-Qur’an dan al-hadits serta mengimplementasikan secara
komprehensif dalam kehidupan sehari-hari.
Saya mencoba mengambil intisari dari Al –
Qur’an surat Ar Raa’d ayat 11,
“…Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.…”
Terdapat refleksi
sosiologis dari ayat tersebut yaitu:
1) Konsep perubahan
masyarakat (taghyir), yang menurut M. Quraisy Syihab ditafsirkan sebagai proses
perubahan yang memosisikan manusia menjadi pelaku perubahan baik secara
individu maupun bagian dari komunitas atau masyarakat. Berdasarkan pembentukan
katanya, subjek pada ayat tersebut adalah Qaum yakni sekelompok manusia yang
berkumpul dan terdiri dari berbagai jenis golongan, suku, bahasa, yang
disatukan oleh ikatan tertentu dan mempunyai tujuan yang sama. Inilah yang
mendasari terbentuknya faham kebangsaan Dengan kata lain, perubahan ini
mengarah pada gerakan sosial yang mampu menggerakkan masyarakat (massa) menuju
sebuah tata nilai ideal.
2) Konsep potensi diri.
Berdasarkan tafsir Asy-Sya’rawi, Nafs (potensi diri manusia) sebagai penggerak
tingkah laku manusia. Dalam nafs terdapat dua dimensi yaitu kebaikan dan
keburukan. Maka dari itu kualitasnya dapat meningkat atau menurun. Nafs dalam
diri manusia menjadi wadah dari berbagai potensi, menjadi penentu posisi dan
peran manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, keilmuan dsb. Kualitas
nafs berimplikasi pada kualitas SDM. Atas dasar itulah, salah satu aspek dalam
masyarakat yang menjadi fokus utama pengembangan adalah nafs.
Selain ayat tersebut,
terdapat beberapa hadits yang menerangkan tentang kemiskinan dari persprektif
Islam. Menurut riwayat Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
“Sekiranya salah seorang
di antara kamu pergi mencari kayu bakar lalu dipikul di atas punggungnya (untuk
dijual), hal ini lebih baik daripada pergi meminta-minta kepada orang lain baik
ia diberi maupun ditolak” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
“Orang yang tidak
memiliki sesuatu yang dapat menutupi kebutuhannya, dan kondisinya tidak
diketahui sehingga diberi shadaqah. Maka ia diberi zakat dan dia tidak
meminta-minta” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallaHu
‘anHu).
Begitulah ajaran Islam
menghargai usaha dan proses seorang manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
di dunia. Terkait erat dengan hal tersebut, modal spiritual juga
mengorientasikan daya yang kita punya kita bukan hanya untuk kehidupan di dunia
saja, melainkan juga untuk mencapai kebahagiaan hakiki dari kehidupan akhirat
kelak sehingga dalam menjalani usaha atau prosesnya, kita senantiasa diiringi
rasa syukur atas segala rezeki yang dianugerahkan kepada kita dan bersabar atas
kekurangan yang ada pada kita sambil terus-menerus berusaha memperbaikinya.
Dengan begitu, niscaya jiwa pun akan merasa tentram.
Dari uraian di atas, jelas bahwa
pemahaman yang utuh tentang ajaran Islam sebagai salah satu substansi dari
modal spiritual, seharusnya dapat meningkatkan produktivitas seseorang untuk
memperbaiki kondisinya sehingga idealnya, tak ada lagi orang yang secara
“sukarela” menjadi miskin.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari
super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu
mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya
Ada tiga sisi yang menjadi akar penyebab dari
terjadinya kemiskinan struktural yaitu:
1. Pemahaman
akan kemiskinan yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih dikaji dari
aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan persoalan
kemiskinan seperti aspek politik, kultural, serta sosial dikaji secara
terpisah. Persoalan kemiskinan dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan
publik atau pemerintah terhadap keberadaan rakyat miskin
2. Kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang terkena sasaran,
baik di tingkat perencanaan maupun sampai ke tingkat pelaksanaannya.
3. Tidak
ada evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di perkotaan untuk melihat
dampak yang terjadi.
Sedangkan kebudayaan kemiskinan adalah kemiskinan yang
muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh
orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki
etos kerja dan sebagainya.
Yang menjadi penyebab terjadinya kebudayaan kemiskinan
melingkupi beberapa hal, diantaranya:
1. Hancurnya
identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2. Hancurnya
kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan sosial.
3.
Marginalisasi mayoritas rakyat.
4. Lemahnya
kelembagaan yang ada.
5. Kuatnya
budaya bisu di semua lapisan masyarakat.
B. Saran
Tak ada gading yang tak retak. Kritik dan saran yang
bersifat konstruktif kami harapkan dari pembaca sebagai bahan pertimbangan
untuk pembuatan makalah selanjutnya yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Todung Mulya.
1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: Rajawali Grafiti.
Fakih, Mansour.2001.
Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta: INSIST PRESS.
Rukminto, Adi Isbandi.
2008. Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagi Upaya Pemberdayaan
Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers.
Ulum, Misbahul. 2007.
Model-model Kesejahteraan Sosial Islam. Yogyakarta : Fakultas Dakwah Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IISEP-CIDA.
Musbikin, Imam. 2008.
Mengapa Allah Membuatku Miskin? Terapi Hati Menyelamatkan Iman dan Jiwa dari
Kemelut Kemiskinan. Yogyakarta : DIVA Press.
Sriharini. 2007.
Model-model Kesejahteraan Sosial Islam. Yogyakarta : Fakultas Dakwah Jurusan
Pengembangan Masyarakat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan IISEP-CIDA.
Komentar
Posting Komentar